Monday, May 21, 2007

Ketika Hitam, Putih, dan Kirmizi Berpadu dalam Pluralisme Budaya

Judul : Kerudung Merah Kirmizi
Penul
is : Remy Sylado
P
enerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Tahun : Cetakan Ketiga, Maret 2004
Tebal : iv + 616 hlm.; 14 cm x 21 cm
ISBN : 979-9023-72-6

Umumnya, simbol hitam identik dengan kegelapan, kejahatan, keburukan, dan hal-hal lain yang tidak mengenakkan. Sementara simbol putih identik dengan kecemerlangan, kesucian, kebaikan, dan hal-hal lain yang berkebalikan dengan simbol hitam. Konfrontasi antara hitam dan putih inilah yang takpernah henti terjadi sepanjang sejarah hidup manusia. Sisi tersebut dikedepankan Remy dalam novelnya yang satu ini. Sekilas mungkin terdengar klise. Ya, sekilas mungkin terdengar tidak menarik. Basi.


Namun, tahukah Anda, novel Kerudung Merah Kirmizi mendapat penghargaan Hadiah Sastra Khatulistiwa 2002? Penghargaan untuk dunia sastra tersebut diadakan oleh QB World Book dan Manajemen Plaza Senayan. Penyeleksiannya tidak main-main, dilakukan oleh 45 orang juri dan dibagi ke dalam 3 tahap seleksi yang teramat ketat. Konon, Remy berhak atas hadiah uang sebesar Rp 50 juta! Wow, angka nominal yang membuat ngiler, bukan? Tentunya, sebuah karya sastra yang mendapat penghargaan bergengsi seperti ini tidaklah dapat kita pandang sebelah mata. Pasti ada semacam strategi yang digunakan Remy Silado agar ide ceritanya bukan merupakan sesuatu yang klise.


Secara ringkas, dengan mengambil latar waktu pada akhir Orde Baru dan awal reformasi, Kerudung Merah Kirmizi menceritakan kisah cinta Myrna Andriono dengan Luc Sondak (keduanya mewakili simbol putih) dan kelicikan bisnis Oom Sam (mewakili simbol hitam). Myrna adalah seorang janda yang harus menghidupi keluarganya dengan bekerja sebagai penyanyi di sebuah lounge. Perjalanan hidup dan kisah cintanya dengan Luc penuh dengan lika-liku. Di lain pihak, kelicikan Oom Sam dalam usaha untuk mendapatkan tanah milik Laksmi, putri Luc, menjadi hambatan secara tidak langsung terhadap kisah cinta Myrna dengan Luc. Konflik merambat tidak hanya pada tataran sosial, tetapi juga politik, ekonomi, bahkan isu terorisme.


Kondisi kemajemukan masyarakat Indonesia diwakilkan melalui beberapa tokoh di dalam novel ini.


Terkisahlah Myrna sebagai tokoh utama. Beranak dua, menjanda selama tiga tahun, suku bangsa Sunda, menetap di Jakarta. Suaminya, Andriono, seorang pilot, bersama 187 orang penumpang air-bus di Sibolangit. Kemudian muncul Luc Sondak, lelaki berusia 50 tahun lebih, guru besar ekonomi bergelar profesor doktor. Luc merupakan duda beranak satu, suku bangsa Minahasa, menetap di Bali. Mereka dipertemukan di lounge hotel berbintang tempat Myrna bekerja sebagai penyanyi jazz, dan saling jatuh cinta.


Selanjutnya, muncul Emha Isa Ibrahim, mahasiswa dari Yogya yang juga anggota sebuah LSM. Ia berlatar belakang budaya Jawa. Pada zaman Orde Baru, ia melakukan demonstrasi sehubungan dengan kasus dirampasnya tanah rakyat di Bali oleh pihak penguasa untuk dijadikan lapangan golf. Ia ditangkap polisi dan disekap selama 14 hari. Karena dianggap “berbahaya” oleh pihak penguasa, ia dituduh sebagai pembunuh dalam sebuah pertikaian nelayan di Bali yang telah direkayasa sebelumnya.


Dua tokoh terakhir yang juga memegang peranan penting dalam kisah ini adalah Putu Vijay dan Ketut. Keduanya berlatar belakang budaya Bali. Putu Vijay adalah seorang nelayan, pernah di-drop out dari Fakultas Perikanan sebuah universitas di Ujungpandang. Ia menyelamatkan Emha saat Emha berusaha melarikan diri dari sekapan oknum polisi yang telah menuduhnya sebagai pembunuh. Sementara itu, Ketut adalah pembantu di rumah peristirahatan Luc di Bali. Ia pun membantu menyembunyikan Emha untuk sementara dari pencarian oknum polisi tersebut.


Tokoh-tokoh di atas merupakan representasi dari berbagai kelompok etnis di Indonesia.
Jika kita berbicara mengenai kelompok-kelompok etnis, niscaya tidak bisa dilepaskan dari pembicaraan mengenai pluralisme budaya. Dalam Kerudung Merah Kirmizi, tidak hanya ditampilkan pluralisme budaya, tetapi juga sikap masyarakat Indonesia terhadap pluralisme itu sendiri. Hal ini terwakili melalui tindakan beberapa tokoh di dalamnya, misalnya tokoh Luc dengan latar belakang budaya Minahasa dan Bali yang menikahi tokoh Myrna yang berlatar belakang budaya Sunda. Selain itu, juga tokoh Emha dengan latar belakang budaya Jawa diberi pertolongan oleh Putu dan Ketut yang berlatar belakang budaya Bali.


Tindakan-tindakan para tokoh tersebut mencerminkan bahwa perbedaan tidak dijadikan hambatan dalam berinteraksi antarmanusia. Alasannya, karena pada hakikatnya ada sebuah kesamaan yang paling mendasar, yaitu sama-sama merupakan manusia yang memiliki hati nurani. Inilah konsep ideal yang ditawarkan Remy untuk menyikapi pluralisme budaya di Indonesia. Novel ini mendeskripsikan kondisi plural masyarakat Indonesia secara positif bahwa di Indonesia, pluralisme budaya berupa perbedaan suku bukanlah merupakan sebuah kendala yang berarti.


Terlepas dari soal pluralisme, kerudung merah kirmizi itu sendiri merupakan sandangan khas adat yang dipakai masyarakat Rawaselang, Jawa Barat. Warna kirmizi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990:443) berarti “merah tua atau ungu”. Dipercaya bahwa kirmizi adalah merah kotor (seperti darah mati), tetapi kita dapat menyaksikan mukjizat melalui orang lain yang memberi kita cinta, yang mengingatkan betapa besar cinta itu dapat mengubahnya menjadi bersih seputih salju.


Ibu Myrna dalam salah satu bagian cerita mengingatkan bunyi bait: (bhs. Sunda) najan dosa manusa nepi ka beureum kawas kirmizi, bakal jadi bodas beresih kawas salju (bhs. Indonesia: walau dosa manusia semerah kirmizi, akan menjadi putih seperti salju; dari teks bhs. Inggris: thou your sins be as scarlet, they shall be as white as snow). Ketika Myrna memberitahu ibunya bahwa Luc telah melamar Myrna, ibunya memberinya sehelai kerudung merah kirmizi. Kerudung itu wajib dipakai oleh Myrna dan baru boleh tidak dipakai lagi jika Luc benar-benar sudah menikahinya. Dalam keseluruhan cerita, kirmizi yang menyimbolkan cinta ini memang memegang peranan penting. Sewaktu terjadi konfrontasi antara simbol hitam dan simbol putih, simbol kirmizi menengahi dan memberi bumbu sehingga cerita terasa lebih “sedap”.


Jika kita mengutip perkataan H.B. Jassin, bahwa karya sastra yang baik adalah enak dibaca dan antara satu kejadian dengan kejadian lainnya tidak terbantahkan kebenarannya, novel Kerudung Merah Kirmizi ini sepertinya sudah memenuhi kriteria itu. Adanya catatan kaki yang tersebar di sana-sini juga sangat berguna sebagai pemberi informasi mengenai lagu jazz, puisi para penyair Arab, dan terjemahan bahasa-bahasa daerah (bahasa Sunda, Jawa, dan Bali) yang banyak dimunculkan Remy melalui percakapan tokoh-tokohnya. Gaya penceritaan Remy pun mengalir lancar, ringan, meski terkadang ia memakai kata-kata dalam bahasa Melayu yang mengharuskan pembaca membuka kamus untuk mencari artinya.


Ngomong-ngomong
, tahun 2001 lalu, satu dari sekian banyak novel Remy Silado, yaitu Ca Bau Kan, diangkat ke layar lebar oleh sutradara Nia Dinata dan bisa dikatakan sukses. Menurut saya, novel Kerudung Merah Kirmizi ini kurang cocok untuk diangkat ke layar lebar seperti Ca Bau Kan. Yang ini sepertinya lebih bagus jika dibuat versi sinetron-nya. :) Cerita yang penuh intrik, karakter-karakter yang tergambarkan secara natural, dan peristiwa-peristiwa yang sarat dengan ketegangan juga “kebetulan” yang seringkali terkesan dipaksakan, sudah sangat memenuhi standar per-sinetron-an Indonesia. Niscaya walau dikemas dalam ratusan episode pun, sinetron Kerudung Merah Kirmizi akan meraih rating yang tinggi!


Reviewer : Rosi

Labels: ,

2 comments:

Blogger Awan Diga Aristo said...

selamat atas kelahiran blog katapengantar!!! sepertinya akan banyak berguna untuk mengenali banyak sekali buku yg belom saya baca :D

o iya, sekedar saran nih, gimana kalau buka kotak saran/request mengenai buku2 yang akan diresensi?

sekali lagi, selamat! :D

 

Anonymous Anonymous said...

mudah2an memang sangat berguna wan...;)

request ya? Hmm, dipertimbangkan deh...

 

Friday, May 11, 2007

Filosofi Naif Seorang Pakar Internet

Judul : Filosofi Naif (Kehidupan Dunia Cyber)
Penulis : Onno W.Purbo
Penerbit: Republika
Halaman : v+146 hlm
Dimensi : 11,5cm x 17,5cm
ISBN : 979-3210-08-7



Jadilah orang yang merdeka dengan internet. Kesan itulah yang saya dapatkan setelah membaca buku ini. Memang, arus globalisasi dan kemajuan teknologi informasi yang (terlalu) cepat menjadikan paradigma masyarakat terhadap berbagai hal berubah. Hal-hal yang dulu relevan, saat ini tidak lagi. Dengan filosofi-nya yang memang sederhana (naif), Onno W.Purbo berusaha menyampaikan kritik dan masukan terhadap berbagai macam 'sistem' yang dianut oleh bangsa Indonesia. Utamanya pendidikan dan paradigma bermasyarakat, juga menyinggung hanya sedikit tentang politik. Melalui buku ini juga beliau menyuarakan pentingnya peranan komunitas dalam proses pembelajaran, karena biasanya terjadi suatu interaksi atau transfer ilmu dalam bentuk diskusi yang bisa mempercepat proses pembelajaran.

Agar dapat survive, setiap orang dituntut untuk bisa sejalan dengan pesatnya percepatan informasi. Untuk itu, setiap orang dituntut untuk memiliki mobilitas yang tinggi dan akses terhadap informasi. Internet mampu memberikan itu. Hampir-hampir tidak ada batasan dalam internet. Satu-satunya yang membatasi adalah etika yang berlaku dalam berinteraksi dengan orang lain, atau biasa disebut netiket. Sialnya banyak yang belum mengetahui apalagi memahami tentang netiket ini.

Percaya atau tidak, dalam internet hak-hak setiap orang begitu dihormati dan suara setiap orang didengarkan. Semua orang setara. Gelar, jabatan dan strata sosial tidak berlaku di sini. Bukan hal yang mustahil jika kemudian polisi 'bersahabat' dengan penjahat di sini, profesor berdebat dengan lulusan SD, atau bahkan guru yang diajari muridnya. Satu-satunya yang dihargai di internet adalah kemampuan, tidak peduli seburuk apapun wajah seseorang atau serendah apapun pendidikan seseorang. Selama dia memiliki solusi terhadap suatu masalah, dia akan dihargai di internet. Maka, kemudian muncul pemimpin-pemimpin yang terpilih secara alami. Hal ini biasanya terjadi dalam suatu komunitas yang tergabung dalam mailing list. Pemimpin-pemimpin ini tidak terpilih melalui PEMILU dan mengkampanyekan dirinya. Namun, 'warga'-lah yang menyematkan mahkota itu sebagai pengakuan terhadap kemampuannya yang lebih. Seseorang menjadi pemimpin, karena memang dia layak menjadi pemimpin. Onno W. Purbo sendiri adalah seorang pemimpin di dunia internet, setidaknya bagi dunia internet di Indonesia.

Bagaimana seseorang menjadi pemimpin? Dengan cara berbagi, utamanya berbagi ilmu atau informasi, karena internet memang tempatnya informasi. Oleh sebab itu, hak cipta, Undang-undang HAKI atau proteksi apapun terhadap pengetahuan (informasi) menjadi tidak relevan karena tidak sesuai dengan semangat untuk berbagi. Dalam internet juga berlaku hukum Tuhan. Siapa beramal, dia mendapat pahala. Siapa berbagi, dia akan mendapatkan lebih banyak dari apa yang dibagikannya. Masuk akal jika kemudian orang-orang atau organisasi yang membagikan pengetahuannya begitu dicintai di internet. Maka tidak salah jika Yahoo!, Google, Apache Web Server, PHP, Linux atau apapun yang Open Source menjadi besar di internet. Kenyataannya, dengan berbagi, nama-nama itu tidak menjadi miskin, malah mendapatkan semakin banyak keuntungan dan semakin populer.

Jika selama ini kita memandang bahwa status sosial dilihat dari jabatan atau pekerjaan tertentu di kantor, siap-siaplah untuk kecewa. Dengan adanya internet, pekerjaan yang terikat jam kerja, ruang kantor dan peraturan-peraturan sudah tidak lagi sesuai. Sudah saatnya suatu pekerjaan dinilai dari efektifitasnya. Tidak menjadi soal dikerjakan kapan dan dimanapun, yang paling penting pekerjaan itu selesai. Dengan cara ini, perusahaan bisa menekan banyak biaya sebetulnya. Sialnya orang-orang yang menggeluti hidup seperti itu masih dicap negatif dari masyarakat, karena terkesan pengangguran. Onno W.Purbo pun mengakui adanya kesan tersebut. Masih diperlukan waktu lebih lama untuk mensosialisasikan paradigma semacam ini, yang paling penting kita bisa senantiasa mengkomunikasinnya (mengedukasi). Setelah berhenti jadi dosen di ITB, beliau pada akhirnya hidup 'menggelandang'. Tidak ada kantor, tidak ada jabatan, pun pekerjaan yang spesifik. Beliau 'bekerja' di rumahnya saja yang sebagian besar waktunya digunakan untuk berinternet ria. Small Office Home Office (SOHO), begitu sebutannya.

Dalam banyak hal, dunia internet bisa memanusiakan kembali manusia yang sejatinya adalah merdeka. Tidak ada penjajahan di dalam internet, semua orang merdeka. Mungkin internet itulah penjajahnya. Orang-orang yang dicintai adalah yang lebih banyak memberikan manfaat, begitu juga yang dibenci adalah yang paling mengganggu. Satu-satunya yang membatasi perilaku seseorang sehingga tidak 'berlebihan' di internet adalah norma-norma yang tidak tertulis (konsensus). Bagi sebagian orang, norma-norma itu adalah keimanan dan ketaqwaan terhadap Allah. Saat ini, mungkin hanya di internet saja prinsip-prinsip agung seperti kejujuran dan keadilan berjalan sebagaimana mestinya.

Secara pribadi, saya meng-amin-kan keseluruhan isi dari buku ini. Mungkin karena saya juga memiliki cara pandang, semangat dan keresahan yang sama dengan beliau, sehingga apa yang ada di buku ini cepat saya pahami. Selain itu juga karena memang gaya tulisan dan penyampaiannya yang ringan, siapapun akan mudah memahami isi buku ini. Onno W. Purbo memang langka menulis buku semacam ini, meskipun sebetulnya isi atau ide dari buku ini 'terselip' di tulisan-tulisannya yang dibagikan secara gratis di situs http://www.bogor.net/idkf. Saya juga merasakan semangat yang sama dalam ceramah di seminar-seminar yang saya ikuti. Jika anda mengikuti seminarnya, siap-siap saja dengan harddisk kosong minimal 13GB, beliau akan membagikan materi-materi pengetahuan yang dimilikinya. Dalam banyak hal, beliau menginspirasi saya, juga melalui buku ini.

Saya merasa sangat beruntung, setelah lama mencari, akhirnya saya bisa memiliki buku ini. Laik beli dan laik baca. Di toko buku sebesar Gramedia pun buku ini sudah ditarik dari peredaran. Saya merasa perlu berterima kasih kepada pihak penyelenggara Islamic Book Fair 2007, di Be Mall, Bandung. Juga penerbit Republika yang memberi potongan 50% untuk buku ini. Sehingga akhirnya saya bisa mendapatkan buku ini, dengan harga yang murah meriah pula.

Reviewer : Donny

Labels: ,