Wednesday, October 24, 2007

Kisah Dramatis Seorang Perempuan Suci

Judul : Perempuan Suci
Penulis : Qaisra Shahraz
Penerjemah : Anton Kurnia dan Atta Verin
Penerbit : Mizan
Tahun : Cetakan 1, Agustus 2006
Tebal : 520 hlm.
ISBN : 979-433-406-5





Perempuan Suci adalah novel pertama Qaisra Shahraz yang ditulis pada tahun 2001 dan meraih penghargaan Jubilee Award pada tahun 2002. Novel ini mengisahkan Zarri Bano, seorang perempuan Muslim yang cantik jelita, cerdas, percaya diri, dan modern. Ia adalah putri sulung Habib, seorang tuan tanah feodal yang memiliki kekayaan berlimpah dan keluarganya berasal dari kasta tertinggi. Begitu banyak orang tua yang melamar Zarri Bano untuk anak laki-laki mereka, tetapi tidak ada satu pun yang diterima oleh Zarri Bano. Suatu ketika ia bertemu dengan Sikander, seorang pengusaha kaya, laki-laki yang memikat hatinya pada pandangan pertama. Sikander pun merasakan hal yang sama terhadap Zarri Bano. Keduanya saling jatuh cinta. Saat Sikander melamarnya, Zarri Bano menerimanya dengan sangat senang hati.

Takdir berkata lain. Jafar, adik lelaki Zarri Bano, mengalami kecelakaan dan meninggal dunia. Padahal, Zarri Bano dan Sikander baru saja berniat menyatukan tali kasih mereka dalam ikatan pernikahan. Kematian Jafar menyebabkan Habib, sang ayah, memaksa Zarri Bano menjadi Shahzadi Ibadat (Perempuan Suci). Ini berarti ia tidak boleh menikah karena satu-satunya yang boleh ia nikahi adalah Al Qur’an. Ia wajib mengabdikan seluruh hidupnya hanya untuk beribadah kepada Tuhan, semacam biarawati. Ia akan menjadi seorang ulama Islam, seorang guru moral dan keagamaan bagi ratusan perempuan muda di kota dan daerahnya, seorang perempuan yang menjadi simbol kesucian dan ibadah dalam bentuk yang paling murni.

Keputusan Habib membuat Zarri Bano terguncang. Awalnya, Zarri Bano menolak menjadikan dirinya Perempuan Suci. Ia ingin hidup sebagai perempuan normal yang menikah dan memiliki sebuah keluarga. Apalagi, selama ini ia adalah seorang perempuan Muslim yang cenderung mengabaikan agama, bahkan hampir tidak pernah memakai tutup kepala dengan benar. Namun, didasari rasa hormat pada ayahnya, akhirnya Zarri Bano tidak kuasa menentang keputusan itu. Ia lalu dinobatkan secara resmi sebagai seorang Perempuan Suci. Dengan berat hati, ia "mematikan" Zarri Bano yang lama dan berusaha "membunuh" rasa cintanya pada Sikander. Yang lebih menyakitkan, dalam puncak kecewanya, Zarri Bano harus menerima kenyataan bahwa Sikander malah mengawini Ruby, adik Zarri Bano. Selama bertahun-tahun, kesedihan, amarah, dan perang batin Zarri Bano tersembunyi rapi di balik burqa* hitam yang membungkus tubuhnya, dan membatasinya dengan dunia luar.

Selain kisah Zarri Bano, terdapat pula kisah lainnya di novel ini, yaitu kisah permusuhan antara seorang chaudharani (nyonya tanah atau istri tuan tanah) yang angkuh bernama Kaniz, dan Fatima, pelayan keluarga Zarri Bano. Chaudharani Kaniz mendendam pada Fatima karena selalu dibayang-bayangi peristiwa yang terjadi di masa lalu mereka. Suami Kaniz, Sarwar, dulu melamar Fatima, tetapi Fatima menolaknya. Kaniz membenci Fatima karena akibat penolakan itu, Kaniz selalu merasa menjadi perempuan pilihan kedua Sarwar. Malang bagi Kaniz, putra semata wayangnya, Khawar, justru jatuh cinta pada Firdaus, anak Fatima. Konflik semakin meruncing. Harga diri Kaniz dipertaruhkan di sini, antara mengenyahkan kebencian demi kebahagiaan putranya, atau terus berkubang dalam lumpur pekat masa lalunya.

***

Istilah Shahzadi Ibadat merupakan istilah yang diciptakan oleh Qaisra Shahraz untuk mempertegas "tugas" Zarri Bano. Usaha seorang ayah untuk memingit putrinya ini adalah sebuah tradisi kuno di Pakistan, khususnya di Sindu. Tradisi ini terjadi dari generasi ke generasi pada kelas masyarakat tertentu yang memiliki pengaruh amat besar pada masyarakat sekitarnya. Kaum perempuan mereka hanya sedikit atau bahkan sama sekali tidak memiliki kemerdekaan atau otonomi. Berikut penjelasan Zarri Bano pada Sikander mengenai tradisi ini.

"... tradisi kami mengenal seorang Perempuan Suci dan ahli waris keluarga kami. Saat satu-satunya ahli waris laki-laki meninggal dunia, di keluarga besar kami, warisannya, dan khususnya tanah-tanahnya, akan diturunkan kepada ahli waris perempuan berikutnya. Perempuan itu disyaratkan tidak akan pernah meninggalkan rumah ayahnya. Akibatnya, dia tidak bisa menikah. Untuk mengesahkan keadaan ini, moyang kami menciptakan status seorang Perempuan Suci, seorang Shahzadi Ibadat. Itu adalah sebuah ukuran bagi laki-laki seperti ayahku untuk memastikan tanahnya tetap menjadi milik keluarga."
(PS, hlm.184)

Shahzadi Ibadat dapat dikatakan sebagai sebuah tradisi yang mengatasnamakan agama untuk melindungi harta warisan dan tanah agar tidak jatuh ke pihak calon suami anak perempuannya. Qaisra Shahraz menggambarkan kepedihan Shahzada, ibu Zarri Bano, saat menanggapi penobatan putrinya menjadi seorang Shahzadi Ibadat dalam kalimat-kalimat berikut ini.

"Tanah mewakili kesuburan. Bagi keluargaku dan anak perempuanku, tanah berarti kehancuran dan ketidaksuburan. Untuk menjaga agar tanah ini tetap menjadi milik keluarga, putriku ditakdirkan untuk selamanya perawan dan tak berputra. Dia harus mengingkari kebahagiaan seorang ibu; kedua tangannya tidak akan pernah merasakan kebahagiaan merengkuh seorang bayi yang baru dilahirkan ke dadanya."
(PS, hlm.74—75)

Secara garis besar, novel ini memaparkan peliknya realitas seorang perempuan yang hidup di tengah kungkungan tradisi yang dibangun oleh laki-laki. Dalam novel ini, tergambar bahwa masih banyak praktik di masyarakat yang membuat perempuan tidak bisa menentukan jalan hidupnya sendiri. Ketika Zarri Bano memilih untuk melepaskan Sikander demi menuruti perintah ayahnya yang memegang kuat tradisi, sejatinya ia telah melakukan suatu pengorbanan yang jauh lebih hebat daripada keperempuanannya sendiri. Ia sudah menukarkan cintanya demi adat istiadat keluarganya.

Laki-laki dalam novel ini memegang dominansi dalam segala hal dan dianggap sebagai imam yang tidak bisa ditentang segala keputusannya. Sebagai perempuan, baik itu sebagai anak atau istri, tidak pantas untuk menentang keputusan yang diambil ayah atau suami. Zarri Bano yang selama ini berjiwa bebas dan mandiri akhirnya pasrah mengikuti keinginan ayahnya. Shahzada juga tidak kuasa memohon pada suaminya agar membatalkan keputusan itu. Habib justru mengancam akan menceraikan Shahzada talak tiga sekaligus, jika istrinya tersebut menolak penobatan Zarri Bano serta tetap mendukung pernikahan Zarri Bano dan Sikander.

Ketidakberdayaan ibu dan anak tersebut digambarkan secara gamblang dalam kalimat-kalimat berikut.
"Sebagai seorang perempuan, dia tidak memiliki kekuatan apa pun—pendapatnya tidak berarti. Hukum berlaku di antara mereka: kata-kata kaum lelaki adalah perintah, dan mereka dilahirkan untuk dipatuhi. Mereka memiliki kemampuan khusus dalam hal memberi dalih sehingga segalanya terdengar begitu meyakinkan. Di hadapan kezaliman mereka yang dengan tebal tersamarkan itu, perempuan tidak akan pernah bisa berharap menang atau menantang mereka. Mereka selalu selangkah di muka dan sangat cekatan dalam hal itu.

Zarri Bano tidak akan mempunyai kesempatan. Dia akan hancur melawan benteng tirani patriarkat ini. Bahkan dengan kebeliaannya, feminisme, dan pendidikan universitas yang dikenyamnya, dan dengan kepribadiannya yang ramah, dia tetap akan digariskan untuk menjadi seorang pecundang dalam permainan kekuasaan kaum lelaki ini.

Seperti juga ibunya, dia sudah dididik sejak bayi untuk menghormati dan memuja setiap keinginan ayahandanya dan siapa pun lelaki yang dituakan dalam keluarga mereka. Menentang salah satu keputusan mereka akan dianggap sebagai pembangkangan tingkat tinggi dan sebuah tanda dari gangguan moral dan sosial, sebentuk pemberontakan yang oleh para tetua akan dianggap harus dimusnahkan sesegera mungkin dan dengan sebentuk perlakuan hingga dia tidak akan pernah bisa meninggikan kepalanya yang buruk itu lagi."
(PS, hlm.79)

Meskipun nuansa feminisme begitu kental di keseluruhan kisah, Qaisra Shahraz tidak lantas menyudutkan para tokoh lelakinya dengan membabi buta. Pembaca tidak dibujuk untuk memandang penuh kebencian pada kaum lelaki atas "penindasan atas nama agama dan tradisi" yang dilakukan mereka terhadap kaum perempuan. Habib dan ayahnya, Siraj Din, digambarkan sebagai manusia biasa yang pada akhirnya berdamai dengan keadaan dan mengalami perubahan pola pikir seiring waktu.

Banyak hikmah yang bisa diambil setelah selesai membaca novel ini. Melalui peran Shahzadi Ibadat yang disandang Zarri Bano, misalnya, Qaisra Shahraz menunjukkan kebanggaan seorang perempuan yang menemukan kembali keteguhan keyakinan agamanya dan martabat pribadinya melalui jilbab. Melalui tokoh-tokoh Kaniz, Fatima, Khawar, dan Firdaus, tampak adanya tuntutan bahwa semua orang sama, harus dihormati, dan memiliki harga diri. Semua orang tanpa kecuali harus diperlakukan dengan seadil mungkin, termasuk mereka yang dianggap sebagai masyarakat kelas bawah. Selain itu, masih banyak lagi hikmah yang tersebar di dalam novel ini, yang dikemas begitu apik, menyentuh, mengharukan, dan menakjubkan. Niscaya novel ini akan membuat Anda takbisa berhenti membaca kata demi kata, membuka lembar demi lembar hingga halaman terakhir ditutup.

* burqa: pakaian berbentuk selubung berwarna hitam, menutupi tubuh perempuan dari ubun-ubun hingga ujung kaki, dan hanya menyisakan segaris lubang di bagian matanya; jilbab panjang yang menutupi seluruh tubuh; ada yang menutupi muka, ada yang tidak; Zarri Bano menggunakannya tanpa tutup muka

Reviewer : Rosi

Labels: ,

1 comments:

Blogger Heri said...

I love this story, jadi penasaran seperti apa sih zarri bano itu