Thursday, June 14, 2007

Sepilihan Sajak Padat Makna Karya Sapardi Djoko Damono

Judul : Hujan Bulan Juni
Penulis : Sapardi Djoko Damono
Penerbit : PT Grasindo
Tahun : Cetakan Kedua, September 2003
Tebal : x + 110 hlm.

aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

Larik-larik sajak di atas tentunya sudah tidak asing lagi di telinga para pecinta puisi ataupun yang menggunakannya sebagai rayuan bagi sang pujaan hati ;). Sajak berjudul “Aku Ingin” ini merupakan satu di antara 96 puisi yang dimuat di buku kumpulan sajak “Hujan Bulan Juni”. Sang penulis, Sapardi Djoko Damono, juga sama sekali bukan nama baru dalam sejarah kesusasteraan Indonesia. Pesyair—yang juga menulis esai dan cerpen—ini pernah menerima Anugerah Puisi Putera dari Malaysia (1983), Hadiah Sastra ASEAN (1986), dan Hadiah Seni dari Pemerintah RI (1990). Sajak-sajaknya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Belanda, Cina, Jepang, Prancis, Urdu, Hindi, Jerman, dan Arab, serta diterbitkan dalam berbagai bunga rampai dan majalah di negara-negara bersangkutan.

Di bagian Pengantar, Sapardi mengungkapkan bahwa sajak-sajak dalam buku ini dipilih dari sekian ratus sajak yang dihasilkannya selama 30 tahun, antara 1964 sampai dengan 1994. Sebagian besar sajak dalam buku ini pernah terbit dalam beberapa kumpulan sajak, sejumlah sajak pernah dimuat di koran dan majalah, satu-dua sajak belum pernah dipublikasikan. Ia pun mengatakan bahwa ada sesuatu yang mengikat sajak-sajak ini menjadi satu buku, meski ia tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai unsur pengikat itu.

Membaca sebuah kumpulan sajak memang tidak dapat disamakan dengan membaca sebuah kumpulan cerpen atau sebuah novel. Bukan hal yang mudah untuk menafsirkan dan mencerna maksud yang ingin disampaikan si pesyair melalui sajak-sajaknya. Dibutuhkan sensibilitas alias kepekaan hati yang jauh lebih besar kapasitasnya dibanding ketika membaca genre karya sastra lainnya. Karenanya, interpretasi tiap pembaca pastilah bermacam-macam. Interpretasi Anda terhadap sajak A, belum tentu sama dengan interpretasi saya terhadapnya. Saat membaca sebuah sajak, sebagai pembaca kita hanya dapat meraba-raba, menebak-nebak, berusaha mendekati makna sesungguhnya dari keseluruhan isi. Namun, sejatinya, tetap saja hasil tafsiran tiap-tiap pembaca tidak lain merupakan tafsiran yang disesuaikan—secara sadar ataupun tidak—dengan pengalaman hidup si pembaca sendiri.

Sapardi dalam buku kumpulan sajaknya yang satu ini juga seolah mengajak para pembacanya untuk melakukan sebuah pengembaraan imajinasi. Di sebagian besar sajaknya, dengan perantara unsur-unsur alam, baik berupa metafora maupun personifikasi, kata-kata menjadi bermakna padat. Berbagai tema disajikan, seperti tentang kematian (antara lain dalam sajak “Tentang Seorang Penjaga Kubur yang Mati” [lelaki tua yang rajin itu mati hari ini; sayang bahwa ia tak bisa// menjaga kuburnya sendiri], “Saat Sebelum Berangkat”, “Iring-iringan di Bawah Matahari”, “Dalam Kereta Bawah Tanah, Chicago”, dan “Ajaran Hidup”), masa tua (antara lain dalam sajak “Lanskap”), masa kecil (antara lain dalam sajak “Di Tangan Anak-Anak”), Tuhan (antara lain dalam sajak “Tiga Lembar Kartu Pos” dan “Tuan”), dan tidak ketinggalan, juga tentang cinta (antara lain dalam sajak “Pertemuan”dan “Benih”).

Hujan dalam sajak-sajak Sapardi di sini tidak dapat begitu saja dimaknai sebagai hujan dalam artian yang sebenarnya, demikian pula dengan matahari, bunga, bulan, angin, kabut, dan unsur-unsur alam lainnya. Hujan bisa saja bermakna suatu keadaan yang kelam (dalam “Percakapan Malam Hujan”), yang ketidakberadaannya memunculkan terang (dalam “Kuhentikan Hujan”), atau bisa pula berbagai hal lainnya. Unsur hujan banyak dimunculkan Sapardi, seperti tampak dalam judul “Hujan Turun Sepanjang Jalan”, “Gerimis Kecil di Jalan Jakarta, Malang”, “Di Beranda Waktu Hujan”, “Percakapan Malam Hujan”, “Sihir Hujan”, dan “Hujan Bulan Juni”. Penelaahan mengenai makna unsur-unsur alam dalam sebagian besar sajak di buku ini bisa dijadikan sebuah tema menarik untuk bahan pengkajian sastra.

Sebagian besar sajaknya berbentuk seperti prosa, tanpa memedulikan konvensi sajak zaman dulu yang terkesan membatasi keluwesan bersajak. Bentuk sajak seperti ini tampak kentara, antara lain pada “Catatan Masa Kecil, 1”, “New York, 1971”, “Pada Suatu Pagi Hari”, “Pada Suatu Malam”, dan “Ziarah”. Perpaduan antara kemungkinan-kemungkinan prosa dan puisi telah memungkinkannya menciptakan suatu bentuk yang luwes, dan ketelitian serta keterampilan yang merupakan ciri kebanyakan sajaknya menunjukkan bahwa ia adalah seorang perfeksionis dalam bentuk maupun bahasa (ungkap Muhammad Hj. Saleh di kulit belakang buku ini).

Anda sudah pernah membaca sebuah buku kumpulan sajak (karangan siapa pun) sebelumnya? Jika belum pernah, buku kumpulan sajak ini bisa menjadi semacam usaha awal untuk mengenali—sampai pada akhirnya menikmati—keindahan sajak. Jika sudah pernah, bisa jadi Anda akan mendapat berbagai pencerahan baru dalam memaknai kehidupan, setiap selesai membaca satu demi satu sajak di dalamnya. Siapa tahu, Anda malah akan terinspirasi untuk mencipta sajak sendiri. Seperti yang dikatakan Goenawan Mohamad tentang sajak-sajak Sapardi: “... bila dibaca pesyair lain akan menimbulkan seru, ‘Mengapa saya tidak menulis seperti itu tentang itu!’ Dengan kata lain, merupakan puisi-puisi yang harus (karena layak) dicemburui”.

Reviewer : Rosi

Labels:

3 comments:

Blogger Awan Diga Aristo said...

sulit untuk tidak sepakat dengan baris terakhir...
siapapun yang pernah bersyair memang akan cemburu melihat gubahan beliau...

 

Anonymous Anonymous said...

makasih sudah ngasih info banyak soal sapardi djoko lewat tulisana
pengen bgt bisa dapet buku "Hujan di Bulan Juni" sudah nyari2 tp ga dapet2. bisa minta info tempat belina? makasih

 

Anonymous Anonymous said...

aku ingin. mungkin sebuah ungkapan yang sederhana tapi rumit. dalam tapi dangkal. dan mungkin itu adalah ungkapan penulis tentang suatu hal yang tidak tercapai/ada masa lalu yang tak tuntas.