Monday, December 17, 2007

Kumpulan Catatan Seorang Nenek untuk Cucunya


Judul : Pergilah ke Mana Hati Membawamu
Penulis : Susanna Tamaro
Penerjemah : Antonius Sudiarja
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun : April 2004
Tebal : 216 hlm.; 23 cm
ISBN : 979-22-0801-1

"Dan kelak, di saat begitu banyak jalan terbentang di hadapanmu dan kau taktahu jalan mana yang harus diambil, janganlah memilihnya dengan asal saja, tetapi duduklah dan tunggulah sesaat. Tariklah napas dalam-dalam, dengan penuh kepercayaan, seperti saat kau bernapas di hari pertamamu di dunia ini. Jangan biarkan apa pun mengalihkan perhatianmu, tunggulah dan tunggulah lebih lama lagi. Berdiam dirilah, tetap hening, dan dengarkanlah hatimu. Lalu, ketika hati itu bicara, beranjaklah, dan pergilah ke mana hati membawamu." (PKMHM, hlm.215)

Novel ini berkisah tentang Olga, seorang perempuan tua yang telah dua bulan ditinggalkan cucunya ke Amerika. Olga tidak mengetahui tempat cucunya berada. Sang cucu pun tidak mengetahui bahwa neneknya baru saja terkena serangan jantung dan kemungkinan hidup neneknya tidak lama lagi. Namun, Olga memutuskan untuk tidak meminta cucunya pulang. Ia malah menulis semacam buku harian yang berisi segala "pengakuan" tentang dirinya. Seluruh muatan batin yang terpendam diungkapkannya, baik kisah hidup, masa lalu, perasaan-perasaan, cinta, kekecewaan, kesepian, penderitaan, maupun penyesalannya terhadap cucunya. Olga berharap jika kelak cucunya pulang dan ia sudah lebih dulu meninggal dunia, sang cucu akan membaca buku hariannya tersebut dan bisa memahami dirinya.

Dengan alur flashback (kilas balik), Olga bertutur mengenai banyak hal: penderitaannya sebagai perempuan di tengah keluarganya; kisah pernikahannya dengan Augusto yang hanya dilakukan untuk mengikuti tradisi; tentang Ernesto yang merupakan kekasih gelap sekaligus cinta sejatinya; tentang Ilaria, putrinya, yang merupakan seorang pemberontak dan feminis radikal; tentang penderitaan ibu Olga dan neneknya yang berimbas pada pembentukan kepribadian Olga; dan kenangannya yang indah selama hidup bersama cucunya. Dengan sangat hati-hati, Olga menuliskan hal-hal yang sangat peka yang menyangkut hubungan-hubungannya di masa lalu, dengan cucunya dan dengan orang lain, dengan kejujuran yang diperhitungkan agar tidak membuat luka yang baru.

Olga memang sedang berjuang untuk bersikap jujur. Selama tujuh belas tahun, ia berbohong dan menutup mulut, mengenai percintaannya dengan Ernesto, mengenai ayah kandung Ilaria, serta mengenai ayah kandung cucunya. Karena sikap diamnya ini, Olga merasa dirinya pembohong. Akibatnya, Ilaria marah ketika Olga tanpa sadar memberitahu Ilaria mengenai ayah kandungnya, hal yang telah begitu lama menjadi rahasia Olga. Dengan menceritakan sebuah dongeng, Olga pun berbohong kepada cucunya bahwa ayah anak itu adalah pangeran dari negeri "Bulan Sabit" (Turki). Padahal, entah siapa ayah kandung sang cucu karena Ilaria sebagai seorang feminis radikal menjalin hubungan dengan begitu banyak pria. Saat ini, Olga merasa sudah tiba waktunya untuk mengungkapkan kejujuran itu kepada cucunya tercinta.

Perbedaan usia antara Olga dan cucunya sangat jauh sehingga perbedaan pendapat dan perilaku mereka sangatlah besar. Olga menganggap perbedaan di antara mereka sangat alami, seperti pohon yang sama, tetapi berbeda musimnya. Ketika cucunya masih kecil, Olga merasa bahagia sebab cucunya masih menyenangkan. Banyak kenangan indah dan mengharukan bersama cucunya yang masih tersimpan dalam hatinya. Namun, ketika sang cucu beranjak dewasa, kegembiraan dan ketenangan itu hilang. Di antara mereka muncul ketegangan yang sulit didamaikan. Karena itu, melalui buku harian berisi segala "pengakuan" yang ditulisnya ini, Olga memohon pada cucunya agar ia dipahami dan dimaafkan. Ia berharap cucunya tidak mengadili kesalahan-kesalahannya di masa lalu, tetapi mengampuninya. Ia berharap, pada akhirnya, cucunya dapat mengikuti kata hatinya sendiri, untuk pergi ke mana pun hati sang cucu membawanya.

*

Dalam keseluruhan isi novel ini, secara lugas dan manusiawi Tamaro mengisahkan Olga, seorang perempuan tua yang merasa telah begitu dekat dengan ajal dan khawatir tidak sempat bertemu dengan cucunya untuk mengakui segala hal yang terpendam dalam hatinya. Dengan menggunakan gaya naratif yang sederhana, Tamaro menggambarkan karakter para tokohnya secara teramat gamblang dan mendalam. Alur cerita mengikuti teknik penulisan surat yang panjang; sebuah pengakuan yang tenang dan mesra mengenai kehidupan, pengalaman, serta identitas si perempuan tua. Gaya narasi mengikuti irama buku harian dan merupakan deskripsi kehidupan sepanjang perjalanannya, dalam berbagai tahap melalui ingatan dan perasaan yang hidup dan masih segar, melalui penyesalan, kelembutan hati, dan cinta, juga kekuatan, kerapuhan, serta kesadaran seorang manusia yang selalu mencari kebenaran. Akhirnya, si tokoh dapat mendengar suara hati, satu-satunya yang bisa memberikan petunjuk yang benar kala menghadapi persimpangan pilihan hidup yang membingungkan dan menyesatkan.

Ketika novel Va’ dove ti porta il cuorePergilah ke Mana Hati Membawamu ini mendapatkan penghargaan Donna Citta di Roma dan menjadi best seller internasional pada tahun 1994, Susanna Tamaro telah menulis empat novel lainnya. Novel ini merupakan buku Italia terlaris abad lalu yang diangkat ke layar lebar pada tahun 1955 oleh sutradara Cristina Comencini. Di Indonesia, novel ini sendiri pada mulanya dimuat sebagai cerita bersambung di harian Kompas. Mengutip ulasan Prof.Ostelio Remi, Direktur Pusat Kebudayaan Italia, Atase Kebudayaan Kedutaan Italia, Jakarta, di bagian Pengantar, novel ini memang sangat dianjurkan untuk dibaca oleh Anda yang memberikan ruang bagi hati untuk membuat pilihan dan ruang bagi perasaan dalam hubungan antarmanusia. Selain itu, novel ini pun memberikan pengetahuan baru mengenai perempuan dari sudut pandang yang berbeda-beda dan juga peran yang berlainan: perempuan sebagai seorang anak, seorang istri, seorang ibu, sekaligus seorang nenek.

Reviewer : Rosi

Labels: ,

1 comments:

Anonymous Anonymous said...

top [url=http://www.c-online-casino.co.uk/]uk casino bonus[/url] check the latest [url=http://www.realcazinoz.com/]online casinos[/url] autonomous no set aside perk at the chief [url=http://www.baywatchcasino.com/]casino online
[/url].

 

Wednesday, October 24, 2007

Kisah Dramatis Seorang Perempuan Suci

Judul : Perempuan Suci
Penulis : Qaisra Shahraz
Penerjemah : Anton Kurnia dan Atta Verin
Penerbit : Mizan
Tahun : Cetakan 1, Agustus 2006
Tebal : 520 hlm.
ISBN : 979-433-406-5





Perempuan Suci adalah novel pertama Qaisra Shahraz yang ditulis pada tahun 2001 dan meraih penghargaan Jubilee Award pada tahun 2002. Novel ini mengisahkan Zarri Bano, seorang perempuan Muslim yang cantik jelita, cerdas, percaya diri, dan modern. Ia adalah putri sulung Habib, seorang tuan tanah feodal yang memiliki kekayaan berlimpah dan keluarganya berasal dari kasta tertinggi. Begitu banyak orang tua yang melamar Zarri Bano untuk anak laki-laki mereka, tetapi tidak ada satu pun yang diterima oleh Zarri Bano. Suatu ketika ia bertemu dengan Sikander, seorang pengusaha kaya, laki-laki yang memikat hatinya pada pandangan pertama. Sikander pun merasakan hal yang sama terhadap Zarri Bano. Keduanya saling jatuh cinta. Saat Sikander melamarnya, Zarri Bano menerimanya dengan sangat senang hati.

Takdir berkata lain. Jafar, adik lelaki Zarri Bano, mengalami kecelakaan dan meninggal dunia. Padahal, Zarri Bano dan Sikander baru saja berniat menyatukan tali kasih mereka dalam ikatan pernikahan. Kematian Jafar menyebabkan Habib, sang ayah, memaksa Zarri Bano menjadi Shahzadi Ibadat (Perempuan Suci). Ini berarti ia tidak boleh menikah karena satu-satunya yang boleh ia nikahi adalah Al Qur’an. Ia wajib mengabdikan seluruh hidupnya hanya untuk beribadah kepada Tuhan, semacam biarawati. Ia akan menjadi seorang ulama Islam, seorang guru moral dan keagamaan bagi ratusan perempuan muda di kota dan daerahnya, seorang perempuan yang menjadi simbol kesucian dan ibadah dalam bentuk yang paling murni.

Keputusan Habib membuat Zarri Bano terguncang. Awalnya, Zarri Bano menolak menjadikan dirinya Perempuan Suci. Ia ingin hidup sebagai perempuan normal yang menikah dan memiliki sebuah keluarga. Apalagi, selama ini ia adalah seorang perempuan Muslim yang cenderung mengabaikan agama, bahkan hampir tidak pernah memakai tutup kepala dengan benar. Namun, didasari rasa hormat pada ayahnya, akhirnya Zarri Bano tidak kuasa menentang keputusan itu. Ia lalu dinobatkan secara resmi sebagai seorang Perempuan Suci. Dengan berat hati, ia "mematikan" Zarri Bano yang lama dan berusaha "membunuh" rasa cintanya pada Sikander. Yang lebih menyakitkan, dalam puncak kecewanya, Zarri Bano harus menerima kenyataan bahwa Sikander malah mengawini Ruby, adik Zarri Bano. Selama bertahun-tahun, kesedihan, amarah, dan perang batin Zarri Bano tersembunyi rapi di balik burqa* hitam yang membungkus tubuhnya, dan membatasinya dengan dunia luar.

Selain kisah Zarri Bano, terdapat pula kisah lainnya di novel ini, yaitu kisah permusuhan antara seorang chaudharani (nyonya tanah atau istri tuan tanah) yang angkuh bernama Kaniz, dan Fatima, pelayan keluarga Zarri Bano. Chaudharani Kaniz mendendam pada Fatima karena selalu dibayang-bayangi peristiwa yang terjadi di masa lalu mereka. Suami Kaniz, Sarwar, dulu melamar Fatima, tetapi Fatima menolaknya. Kaniz membenci Fatima karena akibat penolakan itu, Kaniz selalu merasa menjadi perempuan pilihan kedua Sarwar. Malang bagi Kaniz, putra semata wayangnya, Khawar, justru jatuh cinta pada Firdaus, anak Fatima. Konflik semakin meruncing. Harga diri Kaniz dipertaruhkan di sini, antara mengenyahkan kebencian demi kebahagiaan putranya, atau terus berkubang dalam lumpur pekat masa lalunya.

***

Istilah Shahzadi Ibadat merupakan istilah yang diciptakan oleh Qaisra Shahraz untuk mempertegas "tugas" Zarri Bano. Usaha seorang ayah untuk memingit putrinya ini adalah sebuah tradisi kuno di Pakistan, khususnya di Sindu. Tradisi ini terjadi dari generasi ke generasi pada kelas masyarakat tertentu yang memiliki pengaruh amat besar pada masyarakat sekitarnya. Kaum perempuan mereka hanya sedikit atau bahkan sama sekali tidak memiliki kemerdekaan atau otonomi. Berikut penjelasan Zarri Bano pada Sikander mengenai tradisi ini.

"... tradisi kami mengenal seorang Perempuan Suci dan ahli waris keluarga kami. Saat satu-satunya ahli waris laki-laki meninggal dunia, di keluarga besar kami, warisannya, dan khususnya tanah-tanahnya, akan diturunkan kepada ahli waris perempuan berikutnya. Perempuan itu disyaratkan tidak akan pernah meninggalkan rumah ayahnya. Akibatnya, dia tidak bisa menikah. Untuk mengesahkan keadaan ini, moyang kami menciptakan status seorang Perempuan Suci, seorang Shahzadi Ibadat. Itu adalah sebuah ukuran bagi laki-laki seperti ayahku untuk memastikan tanahnya tetap menjadi milik keluarga."
(PS, hlm.184)

Shahzadi Ibadat dapat dikatakan sebagai sebuah tradisi yang mengatasnamakan agama untuk melindungi harta warisan dan tanah agar tidak jatuh ke pihak calon suami anak perempuannya. Qaisra Shahraz menggambarkan kepedihan Shahzada, ibu Zarri Bano, saat menanggapi penobatan putrinya menjadi seorang Shahzadi Ibadat dalam kalimat-kalimat berikut ini.

"Tanah mewakili kesuburan. Bagi keluargaku dan anak perempuanku, tanah berarti kehancuran dan ketidaksuburan. Untuk menjaga agar tanah ini tetap menjadi milik keluarga, putriku ditakdirkan untuk selamanya perawan dan tak berputra. Dia harus mengingkari kebahagiaan seorang ibu; kedua tangannya tidak akan pernah merasakan kebahagiaan merengkuh seorang bayi yang baru dilahirkan ke dadanya."
(PS, hlm.74—75)

Secara garis besar, novel ini memaparkan peliknya realitas seorang perempuan yang hidup di tengah kungkungan tradisi yang dibangun oleh laki-laki. Dalam novel ini, tergambar bahwa masih banyak praktik di masyarakat yang membuat perempuan tidak bisa menentukan jalan hidupnya sendiri. Ketika Zarri Bano memilih untuk melepaskan Sikander demi menuruti perintah ayahnya yang memegang kuat tradisi, sejatinya ia telah melakukan suatu pengorbanan yang jauh lebih hebat daripada keperempuanannya sendiri. Ia sudah menukarkan cintanya demi adat istiadat keluarganya.

Laki-laki dalam novel ini memegang dominansi dalam segala hal dan dianggap sebagai imam yang tidak bisa ditentang segala keputusannya. Sebagai perempuan, baik itu sebagai anak atau istri, tidak pantas untuk menentang keputusan yang diambil ayah atau suami. Zarri Bano yang selama ini berjiwa bebas dan mandiri akhirnya pasrah mengikuti keinginan ayahnya. Shahzada juga tidak kuasa memohon pada suaminya agar membatalkan keputusan itu. Habib justru mengancam akan menceraikan Shahzada talak tiga sekaligus, jika istrinya tersebut menolak penobatan Zarri Bano serta tetap mendukung pernikahan Zarri Bano dan Sikander.

Ketidakberdayaan ibu dan anak tersebut digambarkan secara gamblang dalam kalimat-kalimat berikut.
"Sebagai seorang perempuan, dia tidak memiliki kekuatan apa pun—pendapatnya tidak berarti. Hukum berlaku di antara mereka: kata-kata kaum lelaki adalah perintah, dan mereka dilahirkan untuk dipatuhi. Mereka memiliki kemampuan khusus dalam hal memberi dalih sehingga segalanya terdengar begitu meyakinkan. Di hadapan kezaliman mereka yang dengan tebal tersamarkan itu, perempuan tidak akan pernah bisa berharap menang atau menantang mereka. Mereka selalu selangkah di muka dan sangat cekatan dalam hal itu.

Zarri Bano tidak akan mempunyai kesempatan. Dia akan hancur melawan benteng tirani patriarkat ini. Bahkan dengan kebeliaannya, feminisme, dan pendidikan universitas yang dikenyamnya, dan dengan kepribadiannya yang ramah, dia tetap akan digariskan untuk menjadi seorang pecundang dalam permainan kekuasaan kaum lelaki ini.

Seperti juga ibunya, dia sudah dididik sejak bayi untuk menghormati dan memuja setiap keinginan ayahandanya dan siapa pun lelaki yang dituakan dalam keluarga mereka. Menentang salah satu keputusan mereka akan dianggap sebagai pembangkangan tingkat tinggi dan sebuah tanda dari gangguan moral dan sosial, sebentuk pemberontakan yang oleh para tetua akan dianggap harus dimusnahkan sesegera mungkin dan dengan sebentuk perlakuan hingga dia tidak akan pernah bisa meninggikan kepalanya yang buruk itu lagi."
(PS, hlm.79)

Meskipun nuansa feminisme begitu kental di keseluruhan kisah, Qaisra Shahraz tidak lantas menyudutkan para tokoh lelakinya dengan membabi buta. Pembaca tidak dibujuk untuk memandang penuh kebencian pada kaum lelaki atas "penindasan atas nama agama dan tradisi" yang dilakukan mereka terhadap kaum perempuan. Habib dan ayahnya, Siraj Din, digambarkan sebagai manusia biasa yang pada akhirnya berdamai dengan keadaan dan mengalami perubahan pola pikir seiring waktu.

Banyak hikmah yang bisa diambil setelah selesai membaca novel ini. Melalui peran Shahzadi Ibadat yang disandang Zarri Bano, misalnya, Qaisra Shahraz menunjukkan kebanggaan seorang perempuan yang menemukan kembali keteguhan keyakinan agamanya dan martabat pribadinya melalui jilbab. Melalui tokoh-tokoh Kaniz, Fatima, Khawar, dan Firdaus, tampak adanya tuntutan bahwa semua orang sama, harus dihormati, dan memiliki harga diri. Semua orang tanpa kecuali harus diperlakukan dengan seadil mungkin, termasuk mereka yang dianggap sebagai masyarakat kelas bawah. Selain itu, masih banyak lagi hikmah yang tersebar di dalam novel ini, yang dikemas begitu apik, menyentuh, mengharukan, dan menakjubkan. Niscaya novel ini akan membuat Anda takbisa berhenti membaca kata demi kata, membuka lembar demi lembar hingga halaman terakhir ditutup.

* burqa: pakaian berbentuk selubung berwarna hitam, menutupi tubuh perempuan dari ubun-ubun hingga ujung kaki, dan hanya menyisakan segaris lubang di bagian matanya; jilbab panjang yang menutupi seluruh tubuh; ada yang menutupi muka, ada yang tidak; Zarri Bano menggunakannya tanpa tutup muka

Reviewer : Rosi

Labels: ,

1 comments:

Blogger Heri said...

I love this story, jadi penasaran seperti apa sih zarri bano itu

 

Thursday, June 14, 2007

Sepilihan Sajak Padat Makna Karya Sapardi Djoko Damono

Judul : Hujan Bulan Juni
Penulis : Sapardi Djoko Damono
Penerbit : PT Grasindo
Tahun : Cetakan Kedua, September 2003
Tebal : x + 110 hlm.

aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

Larik-larik sajak di atas tentunya sudah tidak asing lagi di telinga para pecinta puisi ataupun yang menggunakannya sebagai rayuan bagi sang pujaan hati ;). Sajak berjudul “Aku Ingin” ini merupakan satu di antara 96 puisi yang dimuat di buku kumpulan sajak “Hujan Bulan Juni”. Sang penulis, Sapardi Djoko Damono, juga sama sekali bukan nama baru dalam sejarah kesusasteraan Indonesia. Pesyair—yang juga menulis esai dan cerpen—ini pernah menerima Anugerah Puisi Putera dari Malaysia (1983), Hadiah Sastra ASEAN (1986), dan Hadiah Seni dari Pemerintah RI (1990). Sajak-sajaknya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Belanda, Cina, Jepang, Prancis, Urdu, Hindi, Jerman, dan Arab, serta diterbitkan dalam berbagai bunga rampai dan majalah di negara-negara bersangkutan.

Di bagian Pengantar, Sapardi mengungkapkan bahwa sajak-sajak dalam buku ini dipilih dari sekian ratus sajak yang dihasilkannya selama 30 tahun, antara 1964 sampai dengan 1994. Sebagian besar sajak dalam buku ini pernah terbit dalam beberapa kumpulan sajak, sejumlah sajak pernah dimuat di koran dan majalah, satu-dua sajak belum pernah dipublikasikan. Ia pun mengatakan bahwa ada sesuatu yang mengikat sajak-sajak ini menjadi satu buku, meski ia tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai unsur pengikat itu.

Membaca sebuah kumpulan sajak memang tidak dapat disamakan dengan membaca sebuah kumpulan cerpen atau sebuah novel. Bukan hal yang mudah untuk menafsirkan dan mencerna maksud yang ingin disampaikan si pesyair melalui sajak-sajaknya. Dibutuhkan sensibilitas alias kepekaan hati yang jauh lebih besar kapasitasnya dibanding ketika membaca genre karya sastra lainnya. Karenanya, interpretasi tiap pembaca pastilah bermacam-macam. Interpretasi Anda terhadap sajak A, belum tentu sama dengan interpretasi saya terhadapnya. Saat membaca sebuah sajak, sebagai pembaca kita hanya dapat meraba-raba, menebak-nebak, berusaha mendekati makna sesungguhnya dari keseluruhan isi. Namun, sejatinya, tetap saja hasil tafsiran tiap-tiap pembaca tidak lain merupakan tafsiran yang disesuaikan—secara sadar ataupun tidak—dengan pengalaman hidup si pembaca sendiri.

Sapardi dalam buku kumpulan sajaknya yang satu ini juga seolah mengajak para pembacanya untuk melakukan sebuah pengembaraan imajinasi. Di sebagian besar sajaknya, dengan perantara unsur-unsur alam, baik berupa metafora maupun personifikasi, kata-kata menjadi bermakna padat. Berbagai tema disajikan, seperti tentang kematian (antara lain dalam sajak “Tentang Seorang Penjaga Kubur yang Mati” [lelaki tua yang rajin itu mati hari ini; sayang bahwa ia tak bisa// menjaga kuburnya sendiri], “Saat Sebelum Berangkat”, “Iring-iringan di Bawah Matahari”, “Dalam Kereta Bawah Tanah, Chicago”, dan “Ajaran Hidup”), masa tua (antara lain dalam sajak “Lanskap”), masa kecil (antara lain dalam sajak “Di Tangan Anak-Anak”), Tuhan (antara lain dalam sajak “Tiga Lembar Kartu Pos” dan “Tuan”), dan tidak ketinggalan, juga tentang cinta (antara lain dalam sajak “Pertemuan”dan “Benih”).

Hujan dalam sajak-sajak Sapardi di sini tidak dapat begitu saja dimaknai sebagai hujan dalam artian yang sebenarnya, demikian pula dengan matahari, bunga, bulan, angin, kabut, dan unsur-unsur alam lainnya. Hujan bisa saja bermakna suatu keadaan yang kelam (dalam “Percakapan Malam Hujan”), yang ketidakberadaannya memunculkan terang (dalam “Kuhentikan Hujan”), atau bisa pula berbagai hal lainnya. Unsur hujan banyak dimunculkan Sapardi, seperti tampak dalam judul “Hujan Turun Sepanjang Jalan”, “Gerimis Kecil di Jalan Jakarta, Malang”, “Di Beranda Waktu Hujan”, “Percakapan Malam Hujan”, “Sihir Hujan”, dan “Hujan Bulan Juni”. Penelaahan mengenai makna unsur-unsur alam dalam sebagian besar sajak di buku ini bisa dijadikan sebuah tema menarik untuk bahan pengkajian sastra.

Sebagian besar sajaknya berbentuk seperti prosa, tanpa memedulikan konvensi sajak zaman dulu yang terkesan membatasi keluwesan bersajak. Bentuk sajak seperti ini tampak kentara, antara lain pada “Catatan Masa Kecil, 1”, “New York, 1971”, “Pada Suatu Pagi Hari”, “Pada Suatu Malam”, dan “Ziarah”. Perpaduan antara kemungkinan-kemungkinan prosa dan puisi telah memungkinkannya menciptakan suatu bentuk yang luwes, dan ketelitian serta keterampilan yang merupakan ciri kebanyakan sajaknya menunjukkan bahwa ia adalah seorang perfeksionis dalam bentuk maupun bahasa (ungkap Muhammad Hj. Saleh di kulit belakang buku ini).

Anda sudah pernah membaca sebuah buku kumpulan sajak (karangan siapa pun) sebelumnya? Jika belum pernah, buku kumpulan sajak ini bisa menjadi semacam usaha awal untuk mengenali—sampai pada akhirnya menikmati—keindahan sajak. Jika sudah pernah, bisa jadi Anda akan mendapat berbagai pencerahan baru dalam memaknai kehidupan, setiap selesai membaca satu demi satu sajak di dalamnya. Siapa tahu, Anda malah akan terinspirasi untuk mencipta sajak sendiri. Seperti yang dikatakan Goenawan Mohamad tentang sajak-sajak Sapardi: “... bila dibaca pesyair lain akan menimbulkan seru, ‘Mengapa saya tidak menulis seperti itu tentang itu!’ Dengan kata lain, merupakan puisi-puisi yang harus (karena layak) dicemburui”.

Reviewer : Rosi

Labels:

3 comments:

Blogger Awan Diga Aristo said...

sulit untuk tidak sepakat dengan baris terakhir...
siapapun yang pernah bersyair memang akan cemburu melihat gubahan beliau...

 

Anonymous Anonymous said...

makasih sudah ngasih info banyak soal sapardi djoko lewat tulisana
pengen bgt bisa dapet buku "Hujan di Bulan Juni" sudah nyari2 tp ga dapet2. bisa minta info tempat belina? makasih

 

Anonymous Anonymous said...

aku ingin. mungkin sebuah ungkapan yang sederhana tapi rumit. dalam tapi dangkal. dan mungkin itu adalah ungkapan penulis tentang suatu hal yang tidak tercapai/ada masa lalu yang tak tuntas.

 

Monday, May 21, 2007

Ketika Hitam, Putih, dan Kirmizi Berpadu dalam Pluralisme Budaya

Judul : Kerudung Merah Kirmizi
Penul
is : Remy Sylado
P
enerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Tahun : Cetakan Ketiga, Maret 2004
Tebal : iv + 616 hlm.; 14 cm x 21 cm
ISBN : 979-9023-72-6

Umumnya, simbol hitam identik dengan kegelapan, kejahatan, keburukan, dan hal-hal lain yang tidak mengenakkan. Sementara simbol putih identik dengan kecemerlangan, kesucian, kebaikan, dan hal-hal lain yang berkebalikan dengan simbol hitam. Konfrontasi antara hitam dan putih inilah yang takpernah henti terjadi sepanjang sejarah hidup manusia. Sisi tersebut dikedepankan Remy dalam novelnya yang satu ini. Sekilas mungkin terdengar klise. Ya, sekilas mungkin terdengar tidak menarik. Basi.


Namun, tahukah Anda, novel Kerudung Merah Kirmizi mendapat penghargaan Hadiah Sastra Khatulistiwa 2002? Penghargaan untuk dunia sastra tersebut diadakan oleh QB World Book dan Manajemen Plaza Senayan. Penyeleksiannya tidak main-main, dilakukan oleh 45 orang juri dan dibagi ke dalam 3 tahap seleksi yang teramat ketat. Konon, Remy berhak atas hadiah uang sebesar Rp 50 juta! Wow, angka nominal yang membuat ngiler, bukan? Tentunya, sebuah karya sastra yang mendapat penghargaan bergengsi seperti ini tidaklah dapat kita pandang sebelah mata. Pasti ada semacam strategi yang digunakan Remy Silado agar ide ceritanya bukan merupakan sesuatu yang klise.


Secara ringkas, dengan mengambil latar waktu pada akhir Orde Baru dan awal reformasi, Kerudung Merah Kirmizi menceritakan kisah cinta Myrna Andriono dengan Luc Sondak (keduanya mewakili simbol putih) dan kelicikan bisnis Oom Sam (mewakili simbol hitam). Myrna adalah seorang janda yang harus menghidupi keluarganya dengan bekerja sebagai penyanyi di sebuah lounge. Perjalanan hidup dan kisah cintanya dengan Luc penuh dengan lika-liku. Di lain pihak, kelicikan Oom Sam dalam usaha untuk mendapatkan tanah milik Laksmi, putri Luc, menjadi hambatan secara tidak langsung terhadap kisah cinta Myrna dengan Luc. Konflik merambat tidak hanya pada tataran sosial, tetapi juga politik, ekonomi, bahkan isu terorisme.


Kondisi kemajemukan masyarakat Indonesia diwakilkan melalui beberapa tokoh di dalam novel ini.


Terkisahlah Myrna sebagai tokoh utama. Beranak dua, menjanda selama tiga tahun, suku bangsa Sunda, menetap di Jakarta. Suaminya, Andriono, seorang pilot, bersama 187 orang penumpang air-bus di Sibolangit. Kemudian muncul Luc Sondak, lelaki berusia 50 tahun lebih, guru besar ekonomi bergelar profesor doktor. Luc merupakan duda beranak satu, suku bangsa Minahasa, menetap di Bali. Mereka dipertemukan di lounge hotel berbintang tempat Myrna bekerja sebagai penyanyi jazz, dan saling jatuh cinta.


Selanjutnya, muncul Emha Isa Ibrahim, mahasiswa dari Yogya yang juga anggota sebuah LSM. Ia berlatar belakang budaya Jawa. Pada zaman Orde Baru, ia melakukan demonstrasi sehubungan dengan kasus dirampasnya tanah rakyat di Bali oleh pihak penguasa untuk dijadikan lapangan golf. Ia ditangkap polisi dan disekap selama 14 hari. Karena dianggap “berbahaya” oleh pihak penguasa, ia dituduh sebagai pembunuh dalam sebuah pertikaian nelayan di Bali yang telah direkayasa sebelumnya.


Dua tokoh terakhir yang juga memegang peranan penting dalam kisah ini adalah Putu Vijay dan Ketut. Keduanya berlatar belakang budaya Bali. Putu Vijay adalah seorang nelayan, pernah di-drop out dari Fakultas Perikanan sebuah universitas di Ujungpandang. Ia menyelamatkan Emha saat Emha berusaha melarikan diri dari sekapan oknum polisi yang telah menuduhnya sebagai pembunuh. Sementara itu, Ketut adalah pembantu di rumah peristirahatan Luc di Bali. Ia pun membantu menyembunyikan Emha untuk sementara dari pencarian oknum polisi tersebut.


Tokoh-tokoh di atas merupakan representasi dari berbagai kelompok etnis di Indonesia.
Jika kita berbicara mengenai kelompok-kelompok etnis, niscaya tidak bisa dilepaskan dari pembicaraan mengenai pluralisme budaya. Dalam Kerudung Merah Kirmizi, tidak hanya ditampilkan pluralisme budaya, tetapi juga sikap masyarakat Indonesia terhadap pluralisme itu sendiri. Hal ini terwakili melalui tindakan beberapa tokoh di dalamnya, misalnya tokoh Luc dengan latar belakang budaya Minahasa dan Bali yang menikahi tokoh Myrna yang berlatar belakang budaya Sunda. Selain itu, juga tokoh Emha dengan latar belakang budaya Jawa diberi pertolongan oleh Putu dan Ketut yang berlatar belakang budaya Bali.


Tindakan-tindakan para tokoh tersebut mencerminkan bahwa perbedaan tidak dijadikan hambatan dalam berinteraksi antarmanusia. Alasannya, karena pada hakikatnya ada sebuah kesamaan yang paling mendasar, yaitu sama-sama merupakan manusia yang memiliki hati nurani. Inilah konsep ideal yang ditawarkan Remy untuk menyikapi pluralisme budaya di Indonesia. Novel ini mendeskripsikan kondisi plural masyarakat Indonesia secara positif bahwa di Indonesia, pluralisme budaya berupa perbedaan suku bukanlah merupakan sebuah kendala yang berarti.


Terlepas dari soal pluralisme, kerudung merah kirmizi itu sendiri merupakan sandangan khas adat yang dipakai masyarakat Rawaselang, Jawa Barat. Warna kirmizi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990:443) berarti “merah tua atau ungu”. Dipercaya bahwa kirmizi adalah merah kotor (seperti darah mati), tetapi kita dapat menyaksikan mukjizat melalui orang lain yang memberi kita cinta, yang mengingatkan betapa besar cinta itu dapat mengubahnya menjadi bersih seputih salju.


Ibu Myrna dalam salah satu bagian cerita mengingatkan bunyi bait: (bhs. Sunda) najan dosa manusa nepi ka beureum kawas kirmizi, bakal jadi bodas beresih kawas salju (bhs. Indonesia: walau dosa manusia semerah kirmizi, akan menjadi putih seperti salju; dari teks bhs. Inggris: thou your sins be as scarlet, they shall be as white as snow). Ketika Myrna memberitahu ibunya bahwa Luc telah melamar Myrna, ibunya memberinya sehelai kerudung merah kirmizi. Kerudung itu wajib dipakai oleh Myrna dan baru boleh tidak dipakai lagi jika Luc benar-benar sudah menikahinya. Dalam keseluruhan cerita, kirmizi yang menyimbolkan cinta ini memang memegang peranan penting. Sewaktu terjadi konfrontasi antara simbol hitam dan simbol putih, simbol kirmizi menengahi dan memberi bumbu sehingga cerita terasa lebih “sedap”.


Jika kita mengutip perkataan H.B. Jassin, bahwa karya sastra yang baik adalah enak dibaca dan antara satu kejadian dengan kejadian lainnya tidak terbantahkan kebenarannya, novel Kerudung Merah Kirmizi ini sepertinya sudah memenuhi kriteria itu. Adanya catatan kaki yang tersebar di sana-sini juga sangat berguna sebagai pemberi informasi mengenai lagu jazz, puisi para penyair Arab, dan terjemahan bahasa-bahasa daerah (bahasa Sunda, Jawa, dan Bali) yang banyak dimunculkan Remy melalui percakapan tokoh-tokohnya. Gaya penceritaan Remy pun mengalir lancar, ringan, meski terkadang ia memakai kata-kata dalam bahasa Melayu yang mengharuskan pembaca membuka kamus untuk mencari artinya.


Ngomong-ngomong
, tahun 2001 lalu, satu dari sekian banyak novel Remy Silado, yaitu Ca Bau Kan, diangkat ke layar lebar oleh sutradara Nia Dinata dan bisa dikatakan sukses. Menurut saya, novel Kerudung Merah Kirmizi ini kurang cocok untuk diangkat ke layar lebar seperti Ca Bau Kan. Yang ini sepertinya lebih bagus jika dibuat versi sinetron-nya. :) Cerita yang penuh intrik, karakter-karakter yang tergambarkan secara natural, dan peristiwa-peristiwa yang sarat dengan ketegangan juga “kebetulan” yang seringkali terkesan dipaksakan, sudah sangat memenuhi standar per-sinetron-an Indonesia. Niscaya walau dikemas dalam ratusan episode pun, sinetron Kerudung Merah Kirmizi akan meraih rating yang tinggi!


Reviewer : Rosi

Labels: ,

2 comments:

Blogger Awan Diga Aristo said...

selamat atas kelahiran blog katapengantar!!! sepertinya akan banyak berguna untuk mengenali banyak sekali buku yg belom saya baca :D

o iya, sekedar saran nih, gimana kalau buka kotak saran/request mengenai buku2 yang akan diresensi?

sekali lagi, selamat! :D

 

Anonymous Anonymous said...

mudah2an memang sangat berguna wan...;)

request ya? Hmm, dipertimbangkan deh...